Sabtu, 31 Oktober 2015

Pelanggaran Kode Etik PT Metro Batavia Air

BAB I
PENDAHULUAN
  • LATAR BELAKANG
Etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Etika lebih luas dari prinsip-prinsip moral. Etika tersebut mencakup prinsip perilaku untuk orang-orang profesional yang dirancang baik untuk tujuan praktis maupun tujuan idealstis. Kode etika profesional antara lain dirancang untuk mendorong perilaku ideal, maka kode etik harus realistis dan dapat dilaksanaka. Kode etik ikatan akuntansi Indonesia di Jakarta pada tahun 1998 terdiri dari :
  1. Prinsip Etika
  2. Aturan etika
  3. Interprestasi aturan etika
Prinsip etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional bagi anggota. Interprestasi aturan etika merupakan interprestasi yang dikeluarkan sebagai panduan dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Pengembangan kesadaran etis atau moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisme profesional akuntan. Faktor-faktor situasi berpengaruh secara positif terhadap skeptisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (Situasi Irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisme profesionalismenya.
  • RUMUSAN MASALAH
  1. Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi  seperti apa yang dilakukan oleh PT. Metro Batavia (Batavia Air) ?
  2. Bagaimanakah solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus pelanggaran tersebut
  • BATASAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis menyesuaikan topik yang relevan, yaitu membatasi masalah hanya menyangkut pada kasus pelanggaran etika profesi akuntansi pada PT. Metro Batavia Air pada tahun 2012.
  • TUJUAN PENULISAN
  1. Untuk mengetahui pelanggaran etika profesi akuntansi yang dilakukan oleh PT. Metro Batavia Air.
  2. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus pelanggaran tersebut.
  • METODE PENULISAN
Dalam melakukan penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan

BAB II
PEMBAHASAN
  • SEJARAH PT. METRO BATAVIA ( BATAVIA AIR )
Batavia Air (Nama Resmi: PT. Metro Batavia) adalah sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. Batavia Air mulai beroperasi pada tanggal 5 januari 2002, memulai dengan 1 buah pesawat fokker F28 dan dua buah Boeing 2737-200.
Setelah berbagai insiden dan kecelakaan menimpa maskapai-maskapai penerbangan di indonesia, pemerintah Indonesia membuat pemeringkatan atas maskapai-maskapai tersebut. Dari hasil pemeringkatan yang diumumkan pada 22 Maret 2007, Batavia Air berada diperingkat III yang berarti hanya memenuhi syarat minimal keselamatan dan masih ada beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan dan berpotensi mengurangi tingkat keselamatan penerbangan. Akibatnya Batavia Air mendapat sanksi administratif yang akan di-review kembali setiap 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan kinerja maka izin operasi penerbangan dapat di bekukan sewaktu-waktu.

  • KASUS PAILIT PT. METRO BATAVIA (BATAVIA AIR)
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan Nomor 77 mengenai pailit,  PT Metro Batavia (Batavia Air) dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai pemohon, ditemukan bukti dan utang oleh  Batavia Air. Sehingga sesuai aturan normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsure tersebut, maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk kasasi selama 8 hari. “Kalau tidakmengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung secarafinansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah  membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia, Kamis (31/1).
“Kepada Batavia Air kami minta besok mereka untuk standby di lapangan Bandara di seluruh Indonesia? Untuk member penjelasan dan menangani penumpang-penumpang itu. Jadi kami minta mereka untuk stay di sana,” ujar Herry saat mengelar jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu malam (30/1).
Herry mengatakan pemberitahuan ini sudah disampaikan kepada Batavia Air. “Kami sudah kirim informasi ini kebandara-bandara yang ada untuk melakukan antisipasi besok di bandara (31/1),” imbuh Herry.
Menurut Herry, meskipun pangsa pasar Batavia Air tidak banyak tapi menurut siaga di bandara itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi kebingungan pelanggan serta meminimalisir tudingan-tudingan bahwa pihak Batavia tidak bertanggungjawab.

  • ANALISIS
Siapa yang melakukan:
Pihak PT METRO BATAVIA (Batavia Air)
Jenis Pelanggaran :
Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb ditahun pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 550rb ditahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb ditahun kelima dan keenam. Keseluruhan hutang dari IFLC sebesar USD 4,68 juta ini jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak melakukan  pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.
Bagaimana :
Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force majeur”, yaitu kalah tender pelayananan transportasi ibadah Haji dan Umroh. Hal ini menjadi penyebab tersendatnya pembayaran. Karena pesawat yang disewa tersebut diperuntukan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah. Sehingga, sumber pembayaran pesawat berasal dari pelayanan penumpang ibadah haji dan umroh.
Dampak/ Akibat :
Batavia Air sudah menghitung secara financial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan, dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di dunia penerbangan, dan calonpenumpang (Pembeli tiket) Batavia Air menjadi terlantar padahari hari berikutnya.
Tindakan Pemerintah :
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti meminta pada Batavia Air untuk memberikan informasi pada seluruh calon penumpang yang sudah membeli tiket. Agar informasi ini menyebar secara menyeluruh, Batavia Air diharus siaga di bandara seluruh Indonesia.
Faktor Affecting Public :
Pada sisi Faktor Physical juga apakah Qualitas atau mutu Batavia Air sudah termasuk dalam standar maskapai penerbangan Haji.
Sedangkan dalam faktor  Competition banyak terdapat pesaing pesaing lain atau maskapai lain yang lebih tinggi menawarkan tender, sehingga Batavia mengalami kalah tender,
Dalam faktor Financial, dan Ekonomic juga permasalahan tersebut saya piker pihak manajemen Batavia terlalu terburu buru  dalam menentukan sewa pesawat kepada (ILFC).
Lalu yang paling terpenting adalah Faktor Moral, dari sisi konsumen atau penumpang yang sudah memesan Tiket pesawat juga terlantar begitu saat hari berikutnya saat Batavia air di umumkan Pailit hal ini sangat merugikan calon penumpang, dan Batavia Air harus mempertanggungjawab atas keterlantaran penumpang tersebut.
        
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan diatas maka hasil yang dapat kami  simpulkan adalah Kurangnya pertimbangan dari pihak manajemen Batavia Air untuk mengambil suatu keputusan, apakah yang di sebutkan sebagai pengambilan keputusan sebagai strategi pemenang tender dalam proyek Haji tersebut sudah Pihak  Batavia Air sudah mampu bersaing dengan Perusahaan perusahaan Penerbangan lain yang ikut persaing Tender Pemerintah. Jika Tidak mampu menangani proyek pemerintah tersebut tentunya akan menjadi Bomerang bagi pihak manajemen yang sudah mengorbankan asetnya dan terikat janji untuk memenangkan Tender tersebut.


Jumat, 02 Oktober 2015

Kasus Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi

The Arthur Andersen Arfair

Andersen adalah perusahan audit terbesar kelima di dunia, mempekerjakan 85.000 & 84 negara. Selama tahun 2001, Andersen  didenda atau harus membayar lebih dari $100.000.000 untuk menyelesaikan tuntuntan hokum untuk masalah pemeriksaan mengenai dua klien, pengelolaan Management & Sunbeam . Pada 10 januari 2002, Andersen di ungkapkan bahwa karyawan di perusahaan Houston memiliki beberapa dokumen yang di hapus beberapa hari sebelum SEC menyelidiki Enron. Pada tanggal 5 Februari 2001, personil Andersen dari kantor Houston dan Chicago di bahas kekhawatiran tentang akuntansi Enron. Namun, pada 12 Februari 2001, Enron Pertemuan komite audit, Andersen menyatakan bahwa laporan keuangan Enron 2000 akan menerima laporan audit mengandung opini wajar tanpa adanya pengecualian. Andersen telah secara khusus mengkaji transaksi pihak terkait dan tidak menemukan ketidakwajaran apapun sehubungan dengan akuntansi untuk transaksi pihak terkait tersebut.
Pada 16 oktober 2001, Enron tiba-tiba mengumumkan $618.000.000 kerugian kuartal ketiga dan $1.01 miliar biaya karena menulis turunnya asset mengalami penurunan nilai. Setelah mengumumkan ini, kemerdekaan Andersen dari Enron mulai dipertanyakan karena perusahaan telah memberikan jasa non audit yang segnifikan untuk Enron disamping biaya untuk mengaudit perusahaan. Andersen menerima $47.500.000 dalam biaya dari Enron, dari jumlah ini, $34.200.000, atau 72%, adalah terkait dengan audit dan pajak pekerjaan. Total biaya untuk layanan lainnya berjumlah $13.300.000.
Kegelisahan yg ditekankan dari saksi yang di panggil sebelum banyak pertanyaan di Amerika serikat dan Australia mengikuti Enron  & HIH runtuh mengkonfirmasi bahwa auditor yg pasri di bawah pengawasan. AS Grand Jury dakwaan dari Andersen, LLP pada obstruksi tuduhan keadilan
Pada tanggal 4 Desember 2001, joseph berardino, kepala eksekutif Andersen, mengakui dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Journal Sreet bahwa Andersen memiliki ‘errors penghakiman’ di audit pada tanggal 12 Desember 2001.
Pada awal Maret 2002, Departemen austioe mulai menekan Andersen terhadap keterlibatannya dengan Enron. Setelah seminggu negosiasi intens antara Andersen dan departemen sehubungan kemungkinan mendakwa pidana untuk menghalangi keadilan, Dakwaan pidana terhadap Andersen setuju untuk membayar $217.000.000 untuk menyelesaikan intigasi sipil. Akhirnya pada bulan juni 2002, juri federal yang di hokum Andersen, auditor independen Enron, obstruksi keadilan, melarang perusahaan dari berlatih sebelum dan berakhir praktik audit . Andersen dilarang melakukan dan melaporkan audit perusahaan SEC
Agustus 2002. Chaney & Philipich menyatakan “hilangnya reputasi Andersen sebagagai akibat langsung merobek-robek dokumen dan menghapus dokumen email akhirnya mengakibatkan hilangnya semua SEC pendaftaran Klien Andersen karena itu Andersen membayar harga pasar utama untuk kehilangan reputasi

Sumber :
1.     Bahram Soltani, 2007;560-563
2.     Teori & kasus CORPORATE FRAUD Hal. 117,118,119